Selasa, 10 Januari 2023

BEGAL DALAM PRESPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM





Hidup aman dan tenteram memang menjadi dambaan setiap orang di dunia. Karena dengan nyaman dan tenteram, manusia dapat menikmati kebahagiaan orang lain dengan mensyukuri sepenuhnya kebaikan Sang Pencipta. Kehidupan yang aman dan damai merupakan tanggung jawab setiap orang untuk melakukannya, baik dalam keluarga, lingkungan maupun masyarakat. 

Dalam Islam, jenis "rasa aman" ini dapat diasosiasikan dengan "kata-kata iman". Iman yang berarti “beriman” adalah percaya bahwa ada tuhan (rabb) yang selalu menjaga perbuatan manusia di dunia. Keimanan juga akan menambah rasa takut, sehingga hamba takut melakukan kesalahan yang diharamkan oleh Tuhannya (Rabb) karena takut akan pembalasan baik di dunia maupun di masa yang akan datang. Akhirnya, iman akan menimbulkan rasa aman yang bersumber dari beriman kepada Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (amar ma'ruf nahī munkar).

Salah satu bentuk perilaku yang mengganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat adalah pengambilan harta milik orang lain di depan umum dan mengancam bahkan terkadang disertai dengan perilaku yang dapat merugikan korban hingga membunuhnya. (begal). Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan aksi pencurian tersebut. Sebut saja kasus pencurian yang dialami seorang warga yang sedang menghidangkan makanan di sebuah rumah makan di Ciledug, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lalu ada kasus perampokan di Malang, Jawa Timur, dimana perampok membunuh salah satu perampok. Menurut laporan, para pelaku perampokan ini berusaha melindungi harta benda dan harga diri mereka melalui aksi perampokan. Setelah kejadian itu, pelaku perampokan yang merupakan warga Malang yang masih bersekolah itu dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun latihan. 

JPU dalam persidangannya di Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen Kabupaten Malang mengajukan tuntutan dengan mengacu pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Padahal, putusan hakim distrik Kepanjen tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa tindakan pencuri dan korban itu wajar dan tindakannya membela diri dan tidak disengaja. Dalam hukum pidana Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan pedoman bagi setiap orang untuk menilai apakah akan mengaku bersalah atau tidak. Selain pengenalan pemidanaan, KUHP juga mengenal masalah penghapusan pidana dengan alasan pembenaran (rechtsvaardigingsgrond-justifying fact) dan keberatan pengampunan (schulduitsluitingsgrond-faits d'exuce).

Pembuktian sebab adalah menghilangkan tidak sahnya suatu tindak pidana, sehingga perbuatan orang itu dinilai adil dan wajar. Sedangkan alasan grasi adalah alasan penghapusan terdakwa, meskipun masih terlibat dalam kejahatan dan hukum, tetapi tidak didukung karena kesalahan. Tentang dasar-dasar kesaksian dan grasi, hal itu tertuang dalam pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP.

Dalam eliminasi fidan, ada tiga prinsip yang terlibat: 

1. Asas pembantuan, yaitu adanya pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

2. Asas persamaan, yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan hukum atau kewajiban hukum, dan 

3. Asas “culpa in causa” adalah pelanggaran hukum dimana orang sejak semula menimbulkan resiko melakukan kejahatan. Sebenarnya, kasus pencuri yang tewas di tangan korban bukanlah hal baru di Indonesia. Pada Mei 2018, tepatnya pada malam ke-25, seorang pencuri membunuh seorang pencuri di kawasan jembatan Summarecon Bekasi, Jawa Barat. Meski korban perampokan yang membela diri dinyatakan bersalah dan dijerat dengan pasal 351 KUHP yang diancam dengan kurungan selama tujuh tahun, namun pada akhirnya dibebaskan karena dianggap sebagai orang yang menyebabkannya. dipertahankan dalam situasi penindasan. (benar), bahkan pencuri yang membunuh pencuri yang merupakan Kapolres Kota Bekasi itu diberi gelar citizen of honor atas keberaniannya dalam memberantas tindak pidana pencurian di kota Bekasi. 

Padahal, yurisdiksi kasus pembunuhan perampokan Bekasi bisa dijadikan dasar untuk membebaskan mahasiswa pelaku pembunuhan maling di Malang. Karena kedua kasus ini sama dan membuat mereka melindungi diri dari sengatan tersebut. Oleh karena itu, jika si pembuat membidik pasal 351 KUHP dan dakwaan penganiayaan, mana kata-kata caci maki berlaku bagi si pembuat yang ingin melindungi dirinya, hartanya dan martabatnya? hukum. . Maka menarik untuk dikaji bagaimana hukum Islam memandang pencurian dan pembunuhan pencuri. Seperti yang kita ketahui, Indonesia lebih dari 80% penduduknya menganut Islam sebagai keyakinannya. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam sebenarnya tidak hanya mengatur hubungan antara makhluk dengan pencipta (hablun minnallah), tetapi juga mengatur tata hubungan antara mereka (mu'āmalah/ hablum minannas) agar tidak luput dari tujuan akhir Islam yang hadir. diwajibkan bagi manusia (maqasidu al-shari'ah).

Dari latar belakang tersebut, maka penulis artikel ini akan menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pencurian dan apa hukumnya jika terjadi kasus dimana orang tersebut membunuh pencuri tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang melakukan penelitian kitab-kitab fikih lintas mazhab dan kitab-kitab hadits sebagai sumber dalam esai ini. Sumber sekunder laporan ini berupa buku, surat kabar, artikel dan media online di daerah masing-masing.

BACA JUGA

Label:

PIDANA BEGAL DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM





Apakah begal termasuk tindak pidana?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata begal diartikan sebagai pencurian, yaitu pencurian jalanan. Begal dapat didefinisikan sebagai tindakan mengambil paksa properti orang lain dari jalan secara acak. Merujuk pada konsep hukum pidana Islam di atas, tindakan pencurian ini bisa jadi mirip dengan pencurian (hirabah) dalam hukum Islam.

Hirabah dalam bahasa ini berasal dari kata hara-yuharribu-hirābah yang artinya perang. Sedangkan pengertian hirābah secara kata-kata adalah perbuatan mencuri, merampas atau mengambil hak orang lain tanpa wewenang yang semestinya baik secara pribadi maupun kelompok. Fuqāha mendefinisikan hirābah sebagai qath'u al-tharīq (pencurian) atau al-sarīqah al-qubrā (pencurian besar) karena praktik hirābah tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa harta benda, tetapi juga disertai dengan penganiayaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan, maka fuqaha menyebutnya sebagai pencurian besar. Selain itu, hirābah dapat diartikan mengangkat senjata dan membuat gaduh atau mengganggu jalan-jalan di luar kota. 

Dengan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan pencuri dengan maling adalah berkaitan dengan perbuatan melakukan kejahatan. Sedangkan kita mengenal pencurian sebagai tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa ijin dari tempat yang dirahasiakan, sedangkan penjahat/pencuri mengambil barang milik orang lain dan ketidakadilan serta kekerasan. 

Adapun dasar penghukuman terhadap pelaku tindak pidana begal (hirābah) adal QS. Al-Māidah ayat 33

اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ اَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْاَرْضِۗ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.

Dalam hukum pidana Islam, penjatuhan hukuman bagi pelaku kejahatan harus memenuhi syarat-syarat yang dapat membuktikan bahwa pelaku telah melakukan hirābah. Merujuk pada konsep hukum pidana Islam yang telah dijelaskan oleh penulis di atas, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa perbuatan jarimah harus memenuhi tiga rukun, yaitu rukun syar'i sebagai asas hukum. Ayat 33 dari Al-Māidah berarti bahwa hal pertama telah selesai. Yang kedua adalah terpenuhinya rukum māḍi, yaitu adanya perbuatan yang membawa kepada pelaku kejahatan (yang melakukan kejahatan) dan yang ketiga adalah terpenuhinya rukun dewi, sebenarnya dalam hal penipuan, perbuatan tersebut adalah kebalikan dari itu. perilaku masyarakat pada umumnya yang tidak dapat dibedakan dengan ajaran agama apapun, yang berarti bahwa perbuatan mencuri bertentangan dengan budaya - Sikap yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dan pada orang dewasa nyata (kekuatan hukum).

Adapun keadaan begal/hirābah dapat mengadili haḍ adalah sebagai berikut: 

1. Begal/hirābah adalah yang paling depan 

Artinya, orang-orang yang bisa membuat pengaturan taklif terhadap syaralah yang melakukan hal-hal yang dicuri tersebut. Kriteria kamullaf adalah (1) dewasa dan (2) wajar, artinya dewasa melakukan tindak pidana pencurian tanpa paksaan. Adapun perbuatan mencuri (hirābah) yang dilakukan oleh anak-anak dan orang gila, tidak disamakan dengan haḍ hirābah.

2. Begal/hirābah di dalam membawa senjata 

Artinya, jika pelaku tidak menggunakan senjata untuk melakukan kejahatan tersebut, maka pelaku tidak dapat masuk dalam kategori hirābah. Dan dalam uqūbat jarimah hirābah, senjata yang dipegang pelaku merupakan salah satu syarat yang sempurna yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan uqūbat jarimah hirābah kepada orang yang melakukannya.

 3. Tempat begal/hirābah berada di keramaian 

Artinya, tindakan mencuri/hirābah dilakukan di tengah keramaian, setidaknya demikian pendapat Imam Abu Hanīfah. Meskipun Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi'ī dan Imam Malik bin Anas serta sebagian amalan Hanafiyyah dan begal begal tidak memandang tempat ramai atau sepi, menurut pendapat ini, yang menulis hirābah bisa saja ada di dalamnya. tempat sepi atau ramai, nasehat ini tidak bisa dikesampingkan dan tidak ada penjelasan khusus dimana dalam QS. Al-Maidah: 33 kali.

4. Perbuatan mencuri/hirābah merupakan hal yang lumrah di negara-negara muslim 

Imam Abu Hanifah mengemukakan pendapat ini, yang berarti bahwa jika tindak pidana pencurian/hirābah dilakukan di luar negara Islam (dār al-harb), maka tidak dapat berada di bawah 'uqūbat hirābah. Sementara itu, juri ulama mengatakan bahwa orang yang menulis jarimah hirābah dapat dikenakan hukuman hirābah tanpa melihat di mana hirābah itu terjadi baik di negara Islam maupun di luar negara Islam, seperti Imam Malik, Imam Ahmad Menurut Imam Syafi'ī dan Zahiriyah. . 5. Perbuatan hirābah/pencurian dilakukan di depan umum 

Tindak pidana pencurian/hirābah dilakukan secara terang-terangan (unmasked) untuk tujuan kejahatan terbuka ini agar masyarakat yang takut takut dan tidak melakukan perlawanan terhadap kejahatan pencurian/hirābah tersebut. Selain syarat di atas, pengejaran jarimah hirābah harus disertai dengan bukti-bukti yang dipersyaratkan, yaitu: 

1. Harus ada saksi yang menyaksikan tindak pidana begal/hirābah 

Sebagai aturan umum, pembuktian dalam hukum pidana Islam harus disertai dengan bukti yang kuat tanpa keraguan. Bukti dalam jariīmah hirābah bisa berasal dari korban atau pelaku. Bukti yang benar bahwa Islam memiliki dua anak laki-laki atau satu laki-laki dan dua perempuan atau empat perempuan (QS. Al-Bāqarah: 282) dimana semua saksi tersebut memenuhi bukti yang dibutuhkan seperti (1) Islam (2) dewasa (3) baik (4) cerdas (5) memiliki ingatan yang baik (6) melihat (7) dapat berbicara (8 ) ) tidak ada kendala dalam bersaksi (keluarga).

2. Dengan rasa syukur 

Adanya penerimaan penulis jarimah hirābah dapat dijadikan bukti kuat untuk menurunkan 'uqūbat hirābah. Para ulama zumhur berbeda pendapat tentang berapa kali pelaku hirābah harus menyatakan perbuatannya, ada yang mengatakan cukup menerimanya dengan mengatakannya satu kali saja tetapi ada juga yang mengatakan setuju minimal dua kali lipat dari pendapat Hanabilah dan Imam Abu Yusuf. .

BACA JUGA

Label:

Sabtu, 31 Desember 2022

KIṢAṢ (Qishāsh)/PEMBUNUHAN

 Pustaka rujukan: Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 95-106

A. Pengertian Kiṣaṣ

Kata kiṣaṣ (qishāsh) berasal dari kata قصاص yang artinya memotong atau berasal dari kata Iqtassan yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara’ kiṣaṣ ialah hukuman balasan seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain yang dilakukan dengan sengaja.

Adapun arti kiṣaṣ secara terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).[1] Sementara itu dalam Mu’jam al-Wasit, kiṣaṣ diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.[2] Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaaya korban.

B. Dasar Hukum Kiṣaṣ

1. Qs. Al-Bāqārah ayat 178-179

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

2. QS. Al-Māidah ayat 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim”.

 

2. QS. Al-Māidah ayat 32

 

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi”.

 

3. QS. Al-Isra’ ayat 33

 

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

 

4. QS. Al-An’am ayat 151

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”.

 

5. HR. At-Tirmidzi

 

لَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مَكَّةَ قَامَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ

“Ketika Allah Subhanahuwata’ala membukakan kemenangan untuk Rasul-Nya atas kota Makkah, beliau berdiri memuji Allah Subhanahuwata’ala dan menyanjungnya lalu bersabda, “Siapa menjadi keluarga korban terbunuh maka ia diberi dua pilihan: memaafkannya atau membunuhnya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 1409)”

 

6. HR. Abu Hurairah

 

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyât dan bisa kisas (balas bunuh). (HR al-Jamā’ah)”

C. Syarat-syarat Kiṣaṣ

Untuk melaksanakan hukuman kisas harus terpenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku ( pembunuh), korban ( yang dibunuh), perbuatan pembunuhannya dan wali dari korban dengan penjelasan sebagai berikut:

1.     Pelaku (Pembunuh)

Wahbah Zuhaily mengatakan ada syarat yang harus terpenuhi oleh pelaku (pembunuh) untuk diterapkannya hukuman kiṣaṣ, syarat tersebut adalah pelaku harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja, pelaku (pembunuh) harus orang yang mempunyai kebebasan.[3]

2.     Korban (yang dibunuh)

Untuk dapat diterapkannya hukuman kiṣaṣ kepada pelaku harus memenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban, syarat-syarat tersebut adalah korban harus orang orang yang maṣum ad-dam artinya korban adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam. Korban bukan bagian dari pelaku, artinya bahwa keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak, adanya keseimbangan antara pelaku dengan korban (tetapi para jumhur ulama saling berbeda pendapat dalam keseimbangan ini).

3.     Perbuatan Pembunuhannya

Dalam hal perbuatan pembunuhan menurut ulama dari Hanafīyah pelaku diisyaratkan harus perbuatan langsung (mubaṣaroh), bukan perbuatn tidak langsung (tasabbub). Apabila tassabub maka hukumannya bukan kiṣaṣ melainkan diyāt. Akan tetapi, ulama-ulama selain Hanafīyah tidak mensyaratkan hal ini, mereka berpendapat bahwa pembunuhan tidak langsung juga dapat dikenakan hukuman kiṣaṣ.

4.     Wali (Keluarga) dari Korban

Wali dari korban harus jelas diketahui, dan apabila wali korban tidak diketahui keberadaanya maka kiṣaṣ tidak bisa dilaksankan. Akan tetapi ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.

D. Macam-macam Kiṣaṣ

Adapun jenis-jenis jarīmah (kejahatan) yang dapat ditindak dengan kiṣaṣ adalah sebagaimana yang dijelaskan Abdul Qādir Aūdah ada 5 jenis kejahatan yang dapat ditindak dengan menggunkan kiṣaṣ [4] yaitu:

1. Pembunuhan sengaja (القتل العمد)

Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan di mana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakan untuk membunuh. Dalam hal ini umumnya alat yang mematikan, seperti senjata api, senjata tajam dan sebagainya.

Adapun unsur-unsur dari pembunuhan sengaja adalah, sebagai berikut:

a.     korban yang dibunuh adalah manusia yanng masih hidup;

b.     kematian yang terjadi adalah hasil dari perbuatan pelaku;

c.     pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian/ adanya niat pelaku.

2. Pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد)

Menurut Mazhab Hanafī yang dimaksud pembunuhan menyamai sengaja adalah sesuatu pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang secara umumnya tidak menyebabkan kematian seperti batu kecil, kayu kecil, tongkat kecil, atau sebuah tamparan.[5]

Sedangkan menurut mazhab Syafi’ī pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah setiap perbuatan yang disengaja akan tetapi keliru dalam membunuh, yaitu setiap perbuatan yang tidak diniatkan untuk membunuh, namun menyebabkan kematian. Sebagian ulama Syafi’īyah mendefinisikan sebagai perbuatan dengan niat melukai dengan sesuatu yang biasanya tidak mematikan, tetapi menyebabkan kematian.[6]

Menurut ulama kalangan Hanābilah, pembunuhan menyerupai sengaja adalah sengaja dalam melakukan perbuatan yang dilarang, dengan alat yang pada umumnya tidak akan mematikan, namun kenyataannya korban mati karenanya. Maksudnya, perbuatan memang dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban.

Apabila alat tersebut pada umumnya tidak mematikan, seperti kerikil, ranting kayu, penggaris dan sebagainya, maka pembunuhan yang terjadi termasuk pembunuhan menyerupai sengaja. Adapun unsur-unsur dari permbunuhan menyerupai sengaja adalah sebagai berikut:

a.     adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian;

b.     adanya kesengajaan dalam melakukan perbuautan;

c.     kematian adalah akibat dari pelaku.

3. Pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ)

Adalah sebuah pembunuhan yang tidak ada niat membunuh atau memukul sama sekali. Seperti tersalah di dalam niat atau dzann. Seperti pelaku melempar sesuatu yang ia sangka hewan buruan, tapi ternyata adalah manusia. Maksud kesalahan disini adalah dikembalikan hati itu yaitu niat.[7]

Termasuk di dalam pembunuhan tersalah adalah pembunuhan karena uzur syar’ī yang diterima seperti orang yang tidur dengan tidak sengaja bergerak dan menjatuhi orang yang lain yang tidur dibawahnya sehingga menyebabkan orang tadi mati.

Adapun unsur-unsur pembunuhan karena kesalahan adalah, sebagai berikut:

a.     adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban;

b.     perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan (kelalaian) pelaku;

c.     antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat.

4. Pencederaan sengaja (الجرح العمد)

Yaitu segala jenis penyerangan terhadap jasad manusia seperti memotong anggota badan, melukai, memukul, akan tetapi nyawa orang tersebut masih tetap dan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja.[8]

5.  Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ)

Yakni pelaku berniat untuk melakukan pekerjaan tersebut tapi tidak dengan niat permusuhan, seperti orang meletakkan batu di jendela, tanpa sengaja batu tersebut jatuh terkena kepala orang sehingga terluka dan berdarah. Atau seperti orang yang terjatuh di atas orang yang tidur dan menyebabkan tulang rusuk orang tadi patah.[9]

E. Penerapan Hukuman Kiṣaṣ

1. Pembunuhan sengaja (القتل العمد)

Bagi pembunuhan sengaja (القتل العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu asal, gantian dari asal, dan yang mengikuti. Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara: 1) dosa besar karena ada ayat Al-Qurān yang melarangnya; 2) dikiṣaṣ karena ada ayat kiṣaṣ; dan 3) terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun

Sanksi pertama adalah kiṣaṣ.

Kiṣaṣ di sini adalah dihukum bunuh sama seperti apa yang dia lakukan pada korbannya. Ketika mustaḥiq al-qiṣa memaafkan dengan tanpa meminta diyāt, maka menurut Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’ī, maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar diyāt. Hanya saja pelaku boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari mustaḥiq al-qiṣāṣ tadi. Secara hukum mustaḥiq al-qiṣāṣ  berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan diyāt.[10]

Mustaḥiq al-qiṣāṣ juga berhak untuk memberi maaf dengan tuntutan diyāt, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan keluarga terbunuh (mustaḥiq al-qiṣāṣ)Diyāt tersebut dianggap sebagai pengganti dari hukuman kiṣaṣ. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman asal bila keluarga korban memaafkan dan diganti dengan membayar diyāt.

Sanksi  kedua membayar kafārah (denda)

Kafārah terhadap pelaku pembunuhan adalah memerdekakan hamba sahaya muslim kalau ditemukan, kalua tidak mampu memerdekakan hamba sayaha, maka berpuasa selama 2 bulan terus menerus.[11] Menurut pendapat pendapat Mazhab Syafi’ī, kewajiban kafārah ketika pelaku pembunuhan dimaafkan oleh keluarga korban dan diganti dengan membayar diyat, maka k kafârahnya adalah diyāt itu sendiri.

Sanksi ketiga adalah membayar diyāt mughalladzah

Menurut Imam al-Syafi’ī sebagai qaul jadīd, diyāt tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadīm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham.[16] Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya diyāt lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah.

2. Pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد)

Hukuman bagi pelaku pembunuhan yang menyamai sengaja (القتل شبه العمد) maka sanksinya ada 3 yaitu hukuman asal, hukuman pengganti dan hukuman penyerta.

Hukuman asal

Hukan asal bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah membayar diyāt mughalladzahDiyāt ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya.

Hukuman Pengganti

Hukuman pengganti bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah membayar kafārah yaitu memerdekakan hamba muslim kalau ditemukan, jika tidak ditemukan maka puasa 2 bulan terus menerus.

Hukuman penyerta

Hukuman yang menyertai bagi pembunuhan yang menyerupai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat.

3. Pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ)

Hukuman bagi pembunuhan yang tidak sengaja (القتل الخطأ) terdapat s 2 jenis hukumannya yaitu hukuman asal dan hukuman yang mengikuti.

Hukuman asaal bagi pelaku pembunuhan yang tidak sengaja adalah membayar diyāt dan ta’zīr. Diyāt bagi pembunuhan ini adalah diyāt mukhaffafah. Kadarnya dalah 100 unta dengan perinciang: 20 berupa unta jadza’ah, 20 unta hiqqah, 20 unta bintu labûn, 20 `ibn labûn dan 20 unta bintu makhādl. Sanksi yang mengikuti adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.

4. Pencederaan sengaja (الجرح العمد)

Hukuman bagi pelaku pencederaan yang sengaja (الجرح العمد) terbagi menjadi menjadi 4 kategori hukukman:

a.     pencederaan terhadap anggota dengan terputusnya;

b.     pencederaan terhadap anggota dengan hilang kemanfaatannya;

c.     pencederaan luka terhadap selain kepala dan disebut sebagai الجرح;

d.     pencederaan luka terhadap kepala atau wajah yang disebut dengan الشجاع.

Hukuman bagi pelaku dalam kategori 1 di atas adalah kiṣaṣ atau membayar diyāt dan ta’zīr. Hukuman bagi pelaku kategori 2 adalah membayar diyāt atau ganti rugi (الأرش). Hukuman bagi pelaku dalam kategori 3 dan 4 adalah dikiṣaṣ atau ganti rugi, atau hukum keadilan (حكومة العدل).

Adapun diyāt pada selain jiwa atau hilangnya anggota tubuh, maka diyātnya adalah sama dengan diyat hilangnya jiwa. Tapi terkadang diyātnya sebesar1/2 (setengahnya) diyāt jiwa bagi pemotongan sebelah tangan dan sebelah kaki (kalau kedua tangan berarti seluruh diyat jiwa). Kadangkala 1/3 (sepertiga) bagi jinayah terhadap perut bagian dalam. kadangkala ¼ pada pelapuk mata, 1/10 pada setiap satu jari dan 1/20 (نصف عُشر) bagi setiap mūdliḥah kepala dan wajah.

5.  Pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ)

Hukuman bagi pelaku pencederaan yang tidak sengaja (الجرح الخطأ) adalah diyāt atau al-`Arsy. Maksud diyāt di sini adalah diyāt sempurna seperti yang telah diterangkan. Sedangkan al-`Arsy adalah lebih sedikit dibandingkan diyāt. Pencederaan jenis ini tidak ada ketentuan gantian lainnya. Sedangkan kadarnya telah dijelaskan diketerangan pencederaan sengaja (الجرح العمد).[17]

F. Hapusnya Hukuman Kiṣaṣ

Hukuman kiṣaṣ dapat dihapus karena hal-hal berikut:

1.     hilangnya tempat/bagian yang dikiṣaṣ;

2.     permaafan/adanya penerimaan maaf;

3.     perdamaian.[18]

Yang dimaksud dengan hilangnya tempat yang di kiṣaṣ adalah hilangnya anggota badan atau jiwa orang yang akan di kiṣaṣ sebelum dilaksanakan hukuman kiṣaṣ. Para ulama berbeda pendapat dalam hal hilangnya tempat untuk kiṣaṣ itu mewajibkan diyāt. Imam Mālik dan Imam Abu Hanīfah berpendapat bahwa hilangnya anggota badan atau jiwa yang akan di kiṣaṣ itu menyebabkan hapusnya diyāt, karena bila kiṣaṣ itu tidak meninggal dan tidak hilang anggota badan yang akan di kiṣaṣ itu, maka yang wajib hanya kiṣaṣ bukan diyat.

Sedang menurut Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad dalam kasus diatas kiṣaṣ dan segala aspeknya menjadi hapus, akan tetapi menjadi wajib diyāt, karena kiṣaṣ dan diyāt itu kedua-duanya wajib, bila salah satunya tidak dapt dilaksanakan maka diganti dengan hukuman lainnya.[19]

Sehubungan dengan dengan pemaafan para ulama sepakat tentang pemaafan kisas, bahkan lebih utama daripada menuntunya. Yang dimaksud pemaafan menurut Imam Syafi’ī dan Imam Ahmad adalah memaafkan kiṣaṣ atau diyāt tanpa imbalan apa-apa. Sedangkan menurut Imam Mālik dan Imam Abu Hanīfah terhadap diyāt itu bisa dilaksanakan bila ada kerelaan pelaku/terhukum. Jadi menurut kedua ulama terakhir ini pemaafan adalah pemaafan kiṣaṣ tanpa imbalan apa-apa. Adapun memaafkan diyāt tersebut bukanlah pemaafan, melainkan perdamaian. Orang yang berhak memaafkan kiṣaṣ adalah orang yang berhak menuntunya.



[1] Ali Geno Berutu, Fikih Jinayat (Hukum Pidana Islam) Dilengkapi dengan pembahasan Qanun Jinayat Aceh (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020), hal. 95-106

BACA JUGA

Label: